Nuansa Spiritual Nan Kental Masjid Tegalsari Dalam Malam-malam Terakhir Bulan Ramadhan
Ponorogo – Bulan suci Ramadhan memang menjadi momentum berharga bagi setiap umat muslim untuk memperbanyak ibadah dan mengejar berkah. Di Indonesia sendiri, berbagai ekspresi spirit Ramadhan terlihat dalam berbagai kegiatan keagamaan yang digelar secara bersama-sama maupun individu. Terlebih di Jawa yang kental akan sejarah serta tradisi ke-Islaman warisan Walisongo, terdapat cukup banyak tradisi unik masyarakat dalam menyambut Ramadhan. Mulai dari nyadran, berziarah ke makam orang tua/leluhur, hingga megengan, menjadi beberapa hal yang jamak dilakukan umat muslim di Jawa.
Tak hanya ritual ibadah rutin harian seperti sholat berjama’ah, tadarus Al-Qur’an, pengajian subuh, maupun sholat tarawih, yang menjadi pembeda suasana Ramadhan dengan bulan lainnya. Memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, spirit beribadah ternyata juga terus bertambah. Hal itu terkait adanya keyakinan akan turunnya fadhilah (kekhususan) pahala bagi mereka yang melaksanakan qiyamullail (bangun di malam hari) untuk melaksanakan sholat malam, pada malam tanggal ganjil Ramadhan. Umumnya, umat muslim akan ramai-ramai beriktikaf di masjid agar dapat melakukan ibadah dengan tenang dan khusyuk.
Di Ponorogo terdapat beberapa masjid yang menjadi pusat keramaian umat dalam melaksanakan ibadah tersebut. Namun satu yang paling populer adalah Masjid Tegalsari. Masjid kuno yang telah berdiri sejak abad ke-18 ini memang telah mendapat tempat tersendiri di hati umat muslim Nusantara, khususnya di Jawa. Kyai Ageng Mohammad Besari, sang pendiri masjid yang juga membabat Desa Tegalsari serta mendirikan pesantren Gebang Tinatar telah dikenal sebagai ulama kondang di masanya.
Sejumlah tokoh seperti Susuhunan Pakubuwono II (Raja Surakarta), Ronggowarsito (pujangga/sastrawan Jawa), Kyai Abdul Manan Dipomenggolo (pendiri Pesantren Tremas Pacitan) pernah menuntut ilmu sebagai santri maupun mendapatkan pengaruh dari Tegalsari. Bahkan H.O.S Tjokroaminoto, serta Trimurti pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor merupakan keturunan dari silsilah Kyai Ageng Mohammad Besari.
Nilai-nilai tersebut membuat Tegalsari menjadi salah satu sumber mata air ke-Islaman sejak masa kejayaannya dulu, hingga masa surutnya kini, tetap menjadi tujuan bagi banyak umat muslim di Nusantara. Selain nilai sejarah dan semangat dakwah Islam yang besar, keberadaan Masjid Tegalsari juga menawarkan suasana spiritual nan kental yang membuatnya menjadi pusat kegiatan keagamaan khususnya di bulan Ramadhan.
Terlebih di sepuluh hari terakhir Ramadhan, pada malam tanggal ganjil, ratusan hingga ribuan umat muslim beriktikaf dan menjalani qiyamullail di Masjid Tegalsari ini. Keberkahan serta fadhilah malam Lailatul Qadr menjadi hal yang juga diharapkan didapat para pengunjung Tegalsari selama Ramadhan. Melalui kegiatan pengajian kitab kuning setiap setelah sholat lima waktu, buka puasa bersama, tarawih berjama’ah, serta sholat malam (lail) yang dimulai pada pukul 12 dini hari setiap malamnya membuat banyak orang rela berlama-lama di Tegalsari.
Mengunjungi Tegalsari di bulan Ramadhan tidak hanya menawarkan kesempatan untuk merasakan suasana beribadah yang istimewa. Namun, para pengunjung juga dapat berbelanja pernak-pernik Islami seperti tasbih, peci, minyak wangi, hingga hiasan-hiasan dinding produksi masyarakat sekitar. Selain itu, sembari menunggu waktu-waktu beribadah di Tegalsari, pengunjung juga dapat mendatangi kompleks Pondok Modern Darussalam Gontor yang terletak hanya dua kilometer sebelah timur Tegalsari, atau berbuka puasa dengan mencicipi Dawet Jabung di sentranya yang terletak hanya satu kilometer dari Tegalsari. – NM